Sabtu, 03 September 2011

MENGENANG SEJARAH RASULULLAH S.A.W

Perkawinan Abdullah dengan Aminah
Usia Abdul-Muttalib sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun atau lebih ketika umur anaknya Abdullah sudah dua puluh empat tahun, sudah tiba masa dikawinkan. Pilihan Abdul-Muttalib jatuh kepada Aminah binti Wahb bin Abdul-Manaf bin Zuhrah, pemimpin suku Zuhrah ketika itu. Pada hari perkawinan Abdullah dengan Aminah, Abdul-Muttalib juga kawin dengan Halah, putri pamannya. Dari perkawinan ini lahirlah Hamzah, paman Nabi yang seusia dengan Nabi.
Abdullah seorang pemuda yang tegap dan tampan, di usia yang masih muda belia, sudah mampu bekerja dan berusaha cari kekayaan dari nol tanpa bersandar pada kekayaan ayahnya. Pada suatu ketika Abdullah pergi berdagang ke Suria dengan meninggalkan istri yang sedang hamil. Setelah menempuh perjalanan beberapa bulan dan berniat pulang, namun sesampai di Medinah Abdulah jatuh sakit dan berita sakitnya disampaikan kawan-kawannya kepada ayahnya.
Kematian Abdullah dan Harta Peninggalannya
Abdul-Muttalib mengutus anak sulungnya Haris menuju Medinah untuk membawa Abdullah kembali bila sudah sembuh. Tetapi sesampainya di Medinah Haris memperoleh kabar Abdullah sudah meninggal dan sudah dikuburkan. Haris kembali ke Mekah dengan membawa kabar duka. Rasa duka dan sedih menyayat hati Abu-Muttalib, menyayat hati Aminah yang telah kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan dan kebahagiaan hidupnya.
Harta peninggalan Abullah sesudah wafat terdiri dari lima ekor unta, sekelompok ternak kambing dan seorang budak perempuan, yaitu Um Aiman yang kemudian menjada pengasuh Nabi. Peninggalan ini tidaklah berupa kekayaan tetapi juga bukanlah kemiskinan. Umur Abdullah pada saat meninggal masih sangat muda, namun sudah mandiri mampu mencari kekayaan tanpa mewarisi sesuatu dari ayahnya yang masih hidup itu.
Kelahiran Muhammad ( Tahun 570 M )
Aminah sudah hamil, dan kemudian, seperti perempuan lain ia pun melahirkan. Selesai bersalin dikirimnya berita gembira ini kepada Abdul-Muttalib di Ka’bah, bahwa ia melahirkan seorang putera. Alangkah gembira orang tua itu setelah menerima berita. Sekaligus ia teringat kepada Abdullah anaknya. Gembira sekali hatinya, karena ternyata pengganti anaknya sudah ada. Cepat-cepat ia menemui menantunya itu,, diangkatnya bayi itu lalu dibawanya ke Ka’bah dan diberi nama MUHAMMAD. Nama ini tidak umum di kalangan masyarakat Arab,  tetapi cukup dikenal.
Pada hari ketujuh kelahiran cucunya disembelihkan unta dengan mengundang makan masyarakat Kuraisy. Setelah mereka mengetahui bahwa anak itu diberi nama Muhammad, mereka bertanya-tanya mengapa tidak memakai nama nenek moyang. ” Kuinginkan dia akan menjadi orang yang Terpuji ( Muhammad, Ahmad atau Mahmud, berarti yang terpuji ) bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.
Yang Menyusukan
Aminah masih menunggu akan menyerahkan anaknya itu kepada salah seorang keluarga Sa’d yang akan menyusukan, sebagaimana sudah menjadi kebiasaan bangsawan-bangsawan Arab di Mekah. Adat demikian masih berlaku di kalangan bangsawan-bangsawan Mekah. Pada hari kedelapan mereka biasa mengirimkan anak-anak itu ke pedalaman dan baru kembali pulang ke kota sesudah berumur delapan atau sepuluh tahun. Sementara menunggu orang yang akan menyusukan, Aminah menyerahkan anaknya kepada Suwaibah, budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Ia disusukan selama beberapa waktu, seperti Hamzah yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.
Sekalipun hanya beberapa hari saja Suwaibah menyusukannya, namun Nabi tetap memelihara hubungan yang baik dengan Suwaibah selama hidupnya.
Akhirnya datang juga perempuan-perempuan kekuarga Sa’d yang akan menyusukan itu ke Mekah. Mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan. Tetapi mereka menghindari mengambil anak yatim karena mengharapkan balas jasa dari ayahnya si bayi yang mereka anggap tidak akan peroleh bila menyusukan seorang anak yatim. Maka mereka menolak mengambil Muhammad.
Halimah binti Abi Zua’ib pada mulanya juga menolak Muhammad. Namun berhubung tidak mendapat bayi lain, selain itu dia juga perempuan yang kurang mampu sehingga ibu-ibu lainpun tidak menghiraukannya. Maka Halimah minta izin kepada suaminya al-Haris bin Abdul-Uzza untuk mengambil Muhammad yang kemudian memberi izin. Setelah mengambil Muhammad dan tinggal bersama mereka di pedalaman, ternyata Halimah merasa seperti mendapat berkah. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan air susunya pun bertambah. Tuhan telah memberkati semua yang ada pada Halimah dan keluarganya.
Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusu Halimah dan diasuh oleh Syaima’, putrinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat menjadi besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya . Kemudian atas persetujuan Aminah, Muhammad kecil dibawa kembali ke pedalaman supaya lebih matang juga agar terhindar dari serangan wabah yang sedang terjadi di Mekah.
Muhammad di Pedalaman
Muhammad tinggal pada Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, jiwanya menghirup kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar mempergunakan bahasa Arab yang murni. Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal dalam hatinya. Demikian juga terhadap Ibu Halimah dan keluarganya Muhammad tumpahkan kasih sayang dan menghormati mereka selama masa hidupnya.
Peduduk daerah ini pernah mengalami masa paceklik sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Suatu saat Halimah mengunjunginya, sepulangnya dibekali harta Khadijah berupa unta yang dimuati air dan empat puluh ekor kambing. Dan setiap Halimah datang dibentangkan Muhammad pakaiannya yang paling berharga untuk dijadikan tempat duduk Ibu Halimah, sebagai tanda penghormatan. Ketika Syaima’, putri Halimah berada di bawah tawanan bersama-sama pihak Hawazin setelah Ta’if  dikepung, kemudian dibawa kepada Muhammad, ia segera mengenalinya. Syaima’ dihormati dan dikembalikan kepada keluarganya sesuai dengan keinginan Syaima’.
Di bawah asuhan Abdul-Muttalib
Sesudah lima tahun kemudian Muhammad dikembalikan kepada ibunya. Kemudian Abdul-Muttalib yang bertindak mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih sayangnya kepada cucu ini. Orang tua itu-pimpinan seluruh masyarakt Kuraisy dan pemimpin Mekah, biasanya Untuk Pimpinan dihamparkan alas duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-anaknya pun duduk sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila Muhammad yang datang, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas alas duduk itu sambil ia mengelus-ngelus punggung cucunya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu, paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk. Lebih-lebih lagi kecintaan kakek itu kepada cucunya ketika Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Medinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara kakeknya dari pihak keluarga Najjar.
Aminah Wafat
Setelah sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Mereka dan rombongan kembali dengan dua ekor untar yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di tengah perjalanan yaitu di Abwa ( 37 km dari Medinah ) Ibunda Aminah jatuh sakit yang kemudian meninggal dan dikuburkan di tempat itu. Muhammad kecil dibawa pulang ke Mekah, pulang sebatang kara, menangis dengan hati pilu. Ia semakin merasa kehilangan, terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibundanya keluhan duka kehilangan ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibunya pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai YATIM PIATU.
Lebih-lebih lagi kecintaan Abdul-Muttalib kepada cucunya. Sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim piatu bekasnya masih mendalam sekali terasa dalam jiwanya, sehingga di dalam Qur’an disebutkan, ketika Allah mengingatkan Nabi akan nikmat yang dianugerahkan kepadanya itu :
” Bukankah Dia mendapati kau sebagai piatu, lalu Ia melindungi ? Dan Dia mendapati kau tak tahu jalan, lalu Ia memberi bimbingan ” ( Qur’an, 93: 6-7 )

Abdul-Muttalib Wafat
Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan sekiranya Abdul-Muttalib masih dapat hidup lebih lama lagi. Tetapi ternyata kakeknya juga menyusul, meninggal dalam usia delapan puluh tahun. Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika Ibunya meninggal. Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan keranda jenazah kakeknya sampai ke temapt peraduan terakhir.
Bahkan sesudah itu pun ia masih juga mengenangnya, sekalipun sudah di bawah asuhan Abu Talib pamannya. Ia mendapat perhatian dan pemeliharaan yang sangat baik dari Pamannya, mendapat perlindungan sampai masa kenabiannya, yang terus demikian sampai pamannya itupun akhirnya meninggal.
Di bawah asuhan Abu Talib, Pamannya
Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu Talib, sekalipun dia bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara yang tertua Haris, tetapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas yan mampu namun terkenal kikir. Abu Talib sekalipun dalam kemiskinannya, memiliki perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Kuraisy. Tidak heran jika Abdul-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kepada Abu Talib.
Buat Renungan
Dari Kelahiran sampai di bawah asuhan Abu Talib, yang kisahnya saya baca dari Sejarah Hidup Muhammad karangan Muhammad Husain Haekal, bisa kelihatan sejarah hidup Rasulullah sifatnya manuiawi sesuai makna ciptaanNYA, penuh perjuangan namun memiliki posisi yang paling agung.
Semoga sepotong riwayat Rasulullah dari kelahiran sampai remaja bisa menjadi renungan kita di hari Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw.
Wassalam, Fitri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar